Kamis, 21 April 2011

RAHASIA KECERDASAN PENGETAHUAN ULAMA' -ULAMA' TERDAHULU


Sel-sel otak manusia berjumlah sekitar 100 milyar. Banyaknya jumlah sel tersebut tidak berarti apa-apa, sebab yang menjadi ukuran kepintaran dan kebijaksanaan seorang manusia adalah sebanyak mana terjadinya interaksi arus listrik (electrical impulses) antara axon pada satu sel otak dengan dendrite pada sel otak yang lain. (Lam Peng Kwan & Eric Y K Lam, 2003). Studi empiris membuktikan bahwa dari 100 milyar sel-sel otak itu, kapasitas interaksi arus listrik dalam rata-rata otak seorang manusia modern hanya berkisar antara 6 sampai 8% saja. Sedangkan sisa 92% lagi dari 100 milyar sel-sel otak adalah daerah gelap dan terbiar bagaikan rimba belantara yang tidak pernah dijelajahi. Itu sebabnya banyak ungkapan yang menggambarkan otak manusia sebagai raksasa yang tidur atau wilayah terbesar dunia yang belum dijelajahi. (Collin Rose & Malcolm J.Nicholl, 1997).

Jika manusia modern menamakan interaksi arus listrik antar sel otak itu dengan istilah electrical impulse yang bergerak dari satu axon ke dendrite, ratusan tahun yang lalu Imam Syafi’i dan gurunya Imam Waki’ ‘mengistilahkannya’ sebagai Nurullah (Cahaya Allah). Beliau dan gurunya Imam Waki’ berkeyakinan bahwa dasar daripada pemahaman dan penyerapan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan adalah cahaya Allah yang menerangi hati dan pemikiran. Dalam sinergi pemahaman yang sederhana bisa disimpulkan bahwa prosentase electrical impulse pada sel-sel otak manusia dapat dilejitkan dengan cara meningkatkan kapasitas cahaya Allah dalam hati dan pemikiran.

Sebuah riwayat menceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya tentang kesukarannya dalam menghafal ilmu pengetahuan. Maka gurunya Imam Waki’ menasehatinya untuk mensucikan diri dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau juga berpesan demikian, “Ilmu pengetahuan itu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidak akan menyinari hati orang yang berbuat maksiat.” Setelah menjalankan pesan gurunya itu tingkat kepahaman dan hafalan Imam Syafi’i terpacu secara luar biasa. Beliau dapat mengingat hampir seluruh huruf pada buku yang dibacanya atau seluruh perkataan pada ceramah yang didengarnya.

Orang yang diterangi Allah hati dan pemikirannya digelari al-Quran sebagai Ulil Albab. Perkataan Albab adalah bentuk plural dari Lubb yang salah satu maknanya adalah akal. Maka Ulil Albab bermaksud orang-orang yang memiliki kemampuan akal yang tinggi (Ibrahim Anis, 1972). Sebutlah nama-nama ulama besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Taymia, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Dengan mengimbas ‘cahaya Allah’ yang timbul dari ketakwaan, akal mereka begitu tercerahkan (enlighted) dan berhasil menemukan fenomena-fenomena alam semesta. Penemuan mereka bahkan masih menjadi sumber inspirasi dalam dunia ilmu pengetahuan hingga hari ini. Satu-satunya cara yang mereka contohkan agar ‘cahaya Allah’ berperan dalam memacu kekuatan arus listrik pada sel-sel otak adalah dengan meningkatkan ketakwaan dan meninggalkan kemaksiatan. Firman Allah:

“Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kamu ilmu, dan Allah Maha Mengetahui akan segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)

Ayat di atas merupakan rumus yang jelas dan tegas betapa solusi utama yang paling efisien untuk mengeluarkan umat Islam dari kemunduran pemikiran, ketumpulan analisa dan kelemahan ilmu pengetahuan adalah dengan mengkilapkan kembali cahaya ketakwaan dalam sanubari mereka. Inilah cara yang dicontohkan para ulama terdahulu untuk melejitkan interaksi arus listrik (electrical impulse) antara axon dengan dendrite dalam otak.

Lebih menarik lagi untuk disimak sebuah kajian empiris yang dilakukan oleh peneliti ahli dalam bidang neuropsikologi, Michael Persinger dan V.S. Ramachandran. Mereka berdua menemukan adanya ‘Titik Tuhan’ (God Spot) dalam belantara otak manusia. Lebih rinci lagi mereka menyebutkan bahwa ada sebuah area di sekitar lobus temporal otak yang bersinar saat seseorang diajak untuk berdiskusi dan merenungkan hal-hal yang bersifat keTuhanan. Area tersebut juga menunjukkan peningkatan aktivitas saat seseorang menerima wejangan rohani atau renungan keTuhanan.(Martin, Anthony Dio 2003) Seakan-akan sudah ada suatu mekanisme khusus dalam diri (otak) manusia untuk berhubungan dengan Pencipta alam semesta. Dan sesungguhnya ‘hubungan’ (atau lazim disebut dalam Islam dengan ibadah) itulah yang meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia dan melejitkan kemampuan akalnya.

Kita sama-sama memahami bahwa ilmu pengetahuan terhasil dari kumpulan pengalaman lima panca indra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa dan peraba). Seluruh apa yang dialami oleh lima indra tersebut berupa rangsangan pengalaman (impulse) diterima oleh saraf penerimaan (receptor neurone) untuk selanjutnya dianalisa oleh saraf sensor (sensory neurone). Kesemua proses ini terjadi dengan adanya interaksi arus listrik dalam sel-sel otak sehingga manusia mampu membentuk suatu kesimpulan (analisa) atau melakukan respon fisik (motoric neurone).

Sebesar mana proses interaksi arus listrik dalam otak manusia yang terjadi akibat pengalaman lima indra itu, sebesar itu pulalah daya penyerapan pengetahuan dalam otak. Maka wajarlah jika timbul perbedaan sudut pandang antara manusia yang cerdas (yang memiliki kapasitas besar pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya) dengan orang awam (yang memiliki kapasitas kecil pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya). Terutama dalam kemampuan menganalisa apa yang dilihat, dirasa, dan didengarnya. Firman Allah SWT:

“Perbandingan dua golongan itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Apakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (Surah Hud 11: 24)

Ayat di atas mengesahkan fungsi panca indra sebagai sarana penyerap ilmu pengetahuan. Tentu yang dimaksud dengan pendengaran dan penglihatan di sini bukanlah alat indra mata atau telinga yang dimiliki oleh semua orang secara sama. Tetapi kadar kemampuan sel-sel otak dalam menganalisa pengetahuan yang dideteksi oleh indra-indra tersebut.

Jika kita yakin dengan firman Allah di atas dan percaya dengan penemuan pakar Neuropsikologi tentang ‘God Spot’, maka tentulah kita berkesimpulan bahwa pencapaian manusia dalam melejitkan kemampuan sel-sel otak sangat tergantung kepada sebanyak mana ia menyerap cahaya Allah dalam dirinya. Pada hadits Qudsi berikut dapat kita pahami betapa sebenarnya kekuatan intelektual para ulama zaman silam ternyata bertapak pada kekuatan spritual mereka dalam menambah cahaya Allah dalam diri. Rasulullah SAW bersabda, Allah SWt berfirman dalam hadits Qudsi:

“Jika HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melakukan hal-hal yang Sunnah, maka ia akan kucintai (Dan jika demikian) maka Akulah yang menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, Aku menjadi lidah yang ia bertutur dengannya dan Aku menjadi akal yang ia berfikir dengannya. Jika ia berdoa kepadaku niscaya Aku perkenankan. Jika ia meminta kepadaku niscaya Aku kurniakan. Dan jika ia memohon pertolongan kepadaKu pasti Aku tolong. Ibadahnya yang paling Aku cintai adalah kewajiban yang ditunaikannya untukKu” (Hadits Qudsi Riwayat at-Thabrani dalam kitab al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah)

Jelas sekali diilustrasikan dalam hadits Qudsi di atas betapa seorang hamba yang banyak melakukan ibadah Nawafil (sunnah) akan memiliki kekuatan ekstra pada penglihatan, pendengaran, karya tangan dan gerakan kaki. Bayangkanlah para ulama zaman silam yang sudah terbentuk kekuatan penglihatan, pendengaran, pembicaraan dan pemikirannya dengan cahaya-cahaya Allah. Semua interaksi panca indranya teramat kuat karena mengambil imbasan kekuatan Allah. Seluruh hasil bacaannya, hasil pengamatannya, hasil pendengarannya, hasil karya fikirnya diproses oleh sel-sel otak dengan menggunakan kekuatan cahaya Allah.

Rangkuman dari semua kekuatan itulah yang membentuk peribadi-peribadi yang unggul dalam bidang apapun yang ditekuninya. Jika ia seorang pelayar maka ia menjadi pakar ilmu pelayaran yang unggul (Vasco da Gama; tidak akan pernah menjadi manusia Eropa pertama yang sampai ke India dan Nusantara jika bukan karena menyandera pakar pelayaran Muslim bernama Ibnu Majid yang pada saat itu sudah mengarang tiga kitab ilmu pelayaran), jika ia menekuni bidang kedokteran maka ia menjadi dokter yang tiada tanding (Ibnu Sina dengan The Canon of Medicine nya masih menyisakan sisi sisi keilmuan medika yang dikaji hingga hari ini), jika ia menjadi pakar matematik maka ia mampu mengungkapkan misteri angka dan bentuk yang tidak habis digali sepanjang zaman (Trilogi dunia matematika; Al-Jabar, Aritmatika dan Logaritma ternyata ditemukan oleh al-Khawarizmi) dan jika ia menjadi negarawan maka ia menjadi tumpuan kecintaan rakyat karena membawa kesejahteraan yang tiada tara dalam sejarah bangsanya (Umar bin Abdul Aziz menjadikan rakyatnya sejahtera sehingga tidak ada lagi orang yang memerlukan bantuan).

Penulis teringat dengan kata-kata keramat yang ditoreh oleh Imam Malik pada kulit kitabnya yang monumental; al-Muwattha’ , “Tidak akan sukses generasi akhir dari umat ini, melainkan mereka mengadopsi cara-cara dan tradisi yang telah mensukseskan generasi pertama.”

Kita yang hidup pada akhir zaman ini tidak perlu lagi melakukan proses ‘try and error’ dalam menciptakan keunggulan sumberdaya manusia. Tumpuan pencarian yang benar adalah pada meningkatkan serapan cahaya Allah sebanyak mungkin, yang dengan mudah kita dapati melalui ibadah-ibadah Sunnah seperti melantunkan al-Quran yang merupakan kalam Ilahi, terdiam dalam sujud-sujud tahajud yang panjang, shalat-shalat sunnah (Dhuha rawatib, dll), puasa-puasa sunnah (Senin, Kamis, puasa Asyura’, puasa Arafah, dll) serta ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dapat menaikkan derajat kita menjadi orang yang dicintai Allah. Ingatlah betapa hadits di atas menerangkan bahwa jika Allah telah mencintai seseorang maka orang itu dapat melihat, mendengar, berbicara dan berfikir dengan kekuatan dan cahaya Allah. Inilah inti daripada kecerdasan spritual (Spiritual Quotient) yang merupakan motor penggerak terhadap kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient) dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient).

Wallahu A’lam Bis Showab.

dari Ust. H. Arsil Ibrahim MA
Saturday, 24 May 2008
www.nurulyaqin. org


Tindakan

Information

Kamis, 07 April 2011

Kisah ustad yusuf mansur

Hikmah itu datangnya dari mana saja.....

Beberapa hari yang lalu, di stasiun TV One secara nggak sengaja saya melihat ada Ustad Yusuf Mansur. Kebetulan waktu itu habis sholat tarawih dan ingin santai sejenak. Wah kebetulan nih ada ceramahnya ustad Yusuf mansur…pikirku. Ternyata bukan ceramah….melainkan kisah tentang tokoh….yang selalu ditayangkan oleh tv One setiap kamis malam.

Waktu itu ustad Yusuf Mansur berkisah tentang perjalanan hidupnya yang penuh dengan masalah. Dililit hutang banyak.... Ditagih sana sini…sampai akhirnya masuk penjara 2 kali. Wah pokoknya betul-betul lengkap deh…kata ustad Yusuf Mansur waktu itu.


Di tengah acara tiba-tiba datang seorang sahabat ustad Yusuf mansur…yaitu Mucele….yang biasa tampil di acara Republik Impian. Saat itu Ustad Yusuf Mansur memeluk sang sahabat…yang katanya betul-betul sahabat sejati. Karena Mucele ini……selalu menemani Ustad Yusuf Mansur baik dikala susah maupun senang…tapi waktu itu …banyak susahnya katanya.

Pernah suatu saat Mucele diajak oleh Ustad Yusuf mansur ke suatu tempat kemana gitu….Si Mucele ini nggak pernah nanya mau kemana …pokoknya kalau di ajak ustad Yusuf mansur ….mau aja. Tiba-tiba dalam suatu perjalan kedua orang yang mengendarai sepeda motor baru milik Mucele ini…..menabrak trotoar. Saking kerasnya tabrakan itu…sampai-sampai ustad Yusuf Mansur terpental jauh sampai ke tengah jalan…..dan pingsan. Sedangkan Mucele…masih sadar di dekat motornya. Waktu itu Mucele hanya berpikir …waduuuh…gimana nasib Ustad Yusuf mansur yah…..secara refleks dia langsung menggeser tubuh ustad Yusuf Mansur ke pinggir jalan dan sambil menunggu bantuan.

Akhirnya Ustad Yusuf Mansur di bawa ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Nah…pas di Rumah sakit itulah ustad Yusuf mendapatkan hikmah yang luar biasa besarnya.

Rupanya sebelum kejadian kecelakaan tersebut…pikiran ustad yusuf mansur dipenuhi dengan beban hutang dan masih banyak masalah lainnya yang sangat berat waktu itu. Sehingga waktu mengendarai sepeda motor menjadi tidak konsentrasi dan akibatnya terjadilah kecelakaan itu. …..Tapi justru karena kecelakaan itulah…katanya membawa hikmah yang luar biasa kepada dirinya.

Bagaimana kecelakaan kok malah membawa hikmah…?

Ceritanya begini. Sewaktu dia di rawat di Rumah Sakit tersebut...di sbelah ustad yusuf mansur ada seorang yang sedang didoakan oleh pastur atau pendeta. Sang Pendeta ini berkata kepada pasien yang di sebelah ustad Yusuf mansur tersebut....” Apapun kondisi anda ....seberat apapun beban hidup dan sakit yang anda derita ....Yakinlah bahwa Tuhan itu sangat besar kuasa Nya. Dia bisa menyembuhkan dan membawa kebaikan kepada siapapun yang dikehendaki Nya dalam sekejab...”

Waktu itu Ustad Yusuf Mansur, dari kata-kata sang pendeta itu dia terjemahkan di dalam pikiran nya sendiri sebagai berikut: ” Seberapa besarpun beban hutang saya....saya harus yakin bahwa Alloh Maha kuasa untuk melunasi Nya. Asalkan saya percaya dan tawakkal kepada Nya....Oh Iya...ya...kenapa selama ini saya melupakan Alloh. Kenapa saya tidak mengharapkan pertolongan Alloh dan menganggap bahwa semua masalah ini bisa saya selesaikan sendiri. Sungguh saya termasuk orang yang lupa......dst. Ustad Yusuf Mansur menangis tersedu-sedu.

Begitulah petunjuk Alloh datang melalui lisan seorang Pendeta. Memang hidayah Alloh itu datangnya bisa dari mana saja. Asalkan kita mau membuka hati dan pikiran kita...maka kita akan mendapat petunjuk yang tidak disangka-sangka. Bahkan para kaum sufi jaman dulu....hanya lewat desiran angin mereka sudah merasakan kebesaran Alloh. Jalaludin Ar Rumi...mendengarkan bunyi2 an seruling atau bahkan ketukan palu...pun...sudah bisa menggetarkan hatinya akan kebesaran Alloh. Maka seperti itulah akhirnya yang terjadi pada diri ustad Yusuf mansur.

Mulai saat itu dia bertekad untuk selalu melaksanakan perintah Alloh dan meminta pertolongan kepada Alloh. Sampai akhirnya dia sadar akan kesalahan selama ini.

Wah berarti sudah insaf ya ustad...? belum juga . Ternyata perjalanan masih berliku. Ustad Yusuf mansur sempat masuk penjara lagi. Dan didalam penjara inilah ......keajaiban sedekah dia terapkan. Ceritanya begini....pernah suatu saat ustad Yusuf mansur mempunyai sepotong roti. Pas dia mau makan...ternyata dia melihat di tembok penjara ...ada sederetan semut. Kemudian dia secara spontan tergerak untuk memberikan rotinya kepada semut. Sambil berkata,” Semut, kamu sudah saya beri roti yang cuman satu ini...... tolong doakan saya biar mendapat rezeki yang banyak dan barokah ya...!”. Begitu doa ustad Yusuf mansur saat itu.

Teryata apa yang diharapkan ustad Yusuf mansur terkabulkan. Karena tidak seberapa lama...tiba-tiba saja si penjaga penjara bertanya kepadanya,” Hai Ucup..kamu sudah makan belum...? kalau belum nih saya kasih ayam goreng”. Waktu itu ustad Yusuf mansur sangat bersyukur pada Alloh yang telah mengabulkan doanya. Mulai saat itu akhirnya ustad Yusuf Mansur sangat percaya dengan kekuatan sedekah.




Sumber: www.didiksugiarto.com

Kisah para ulama

Dibuat untuk menceritakan kisah para ulama yan gtelah membawa islam